Rabu, 23 September 2009

Kejadian Tahun Lalu

Pagi itu, tak seperti hari-hari biasanya ibuku masih tertidur dengan nyenyak padahal matahari sudah terbit dan mulai meninggi. Aku berusaha membangunkan dengan lembut ibuku. Namun ibu berkata dia masih ingin istirahat. Diapun berkata bahwa kepalanya terasa pusing dan seluruh badannya terasa pegal-pegal.

Ibu menyuruhku membeli obat sakit kepala di warung. Setelah aku membelikannya ibu memakannya dan langsung tertidur kembali. Aku memperhatikan wajah ibu. Diwajahnya kini sudah mulai banyak kerutan-kerutan yang menunjukkan bahwa usianya sudah tidak muda lagi. Seperti biasa, wajah ibu ketika tertidur sangat membuatku khawatir. Wajahnya saat tidur selalu menggambarkan wajah pilu. Terlihat betapa beratnya perjuangan ibuku selama ini dan terlihat pula betapa ibu belum bahagia dengan kehidupannya saat ini. Aku mencium kening ibuku dan mendoakan agar ibuku segera sembuh.

Aku pun pergi ke sekolah dengan rasa khawatir akan keadaan ibu. Untunglah saat itu hari sabtu, jadi aku bias cepat pulang kembali ke rumah. Namun, tak disangka saat perjalanan pulang ke rumah, aku merasa kepalaku pusing sekali, sampai-sampai karena tak tahan akupun tertidur di dalam angkutan kota yang aku tumpangi.

Sesampainya dirumah aku langsung membaringkan tubuhku di sisi ibu. Akupun berkata pada ibu bahwa aku merasa kepalaku pusing. Aku lihat saat itu adik kecilku yang masih berumur 1 tahun sedang bermain sendiri. Tanpa sadar akupun terlelap disamping ibu. Saat aku terbangun, aku lihat ibu sedang mengasuh adikku. Mungkin ibu kasihan pada adik yang bermain sendiri dan tidak ada yang mengawasi. Namun, karena kepalaku masih pusing, aku membiarkan ibuku yang sednag sakit sendirian mengurus adikku. Aku tidak membantu ibu.

Saat malam hari, ibu bercerita padaku bahwa adik tadi sore pergi keluar rumah sendirian. Padahal sore itu sedang hujan gerimis. Adikku memang sudah bisa berjalan, jadi di pintu belakang rumahku yang selalu terbuka di siang hari, dipasang semacam kayu untuk menghalangi agar adik tidak bisa keluar. Tapi, ternyata adik sudah bisa menaiki kayu tersebut, sehingga adik bisa keluar dari rumah. Aku baru ingat, adik bisa memanjat kayu itu karena diajarkan olehku. Pada sore itu, adik menaiki kayu tersebut lalu keluar berjalan menyusuri jalan di gang rumah kami. Setelah adik berjalan agak jauh barulah adik dibawa pulang ke rumah kami oleh salah satu tetangga kami. Saat adik diantarkan pulang, baju adik sudah basah oleh air hujan. Ibu berkata badan adik jadi panas. Ibu memintaku untuk membelikan obat untuk adik. Tapi entah kenapa aku merasa malas sekali untuk keluar rumah. Aku pun tidak menuruti permintaan ibu untuk membeli obat.

Keesokan harinya aku terbangun oleh suara tangisan adik. Ternyata adik menangis meminta ibu bangun, tetapi karena ibu masih sakit, ibu membiarkannya. Aku pun membawa adikku dari samping ibu agar ibu bisa istirahat kembali. Aku bergegas membelikan bubur untuk ibu dan adikku. Aku menyerahkan satu piring bubur pada ibu yang langsung dimakannya, sementara aku menyuapi adikku. Aneh sekali, adikku yang biasanya makan banyak, saat itu seperti yang tidak berselera. Akhirnya, adik hanya memakan beberapa suap bubur dan sisanya aku yang makan. Lalu, entah karena cape atau pusing, adikku tidur kembali, padahal hari masih pagi.

Saat adik tidur, aku mengantar ibuku pergi ke dokter naik becak. Ibu susah sekali untuk berjalan, sehinnga ibu harus dibantu olehku untuk berjalan. Sesampainya di dokter, ibu diperiksa dan dokter pun berkata bahwa ibu terkena penyakit ‘cikungunya’. Ternyata karena penyakit itulah seluruh badan ibu terasa ngilu dan sulit untuk digerakkan. Setelah dokter memberikan obat, kami pun kembali ke rumah.

Di rumah, saat adik tidur, aku melihat adik cegukan beberapa kali lalu tertawa. Aku pun tertawa karena ku kira adik sedang bermimpi. Namun ternyata, itu adalah salah satu pertanda datangnya kejadian buruk di hari itu.

Siang harinya aku membeli cemilan untuk ibu dan adik. Aku pun membeli cemilan untukku, namun yang berbeda dengan ibu dan adik. Ternyata adik sudah bangun. Dia ingin makan cemilan punyaku, akhirnya aku suapi adikku cemilan milikku. Adik masih tertawa-tertawa saat itu.

Lalu, datanglah saudaraku mengajakku pergi ke warung internet. Katanya dia ingin membuka friendster miliknya yang saat itu memang sedang digandrungi oleh para remaja seusiaku. Aku pun mengantarkannya, membiarakan ibu dan adik yang sedang sakit dirumah. Namun baru beberapa saat aku di warnet, ayahku menyusulku. Dia membawa Handphone milikku. Ayah berkata bahwa adik mau dibawa ke rumah sakit karena adik kejang-kejang. Aku terkejut dan aku pun langsung pulang ke rumah.

Di rumah ku lihat ibuku sedang bersiap-siap dan mengganti pakaiannya. Ibu menyuruhku membeli popok untuk adik. Aku berlari menuju warung terdekat dan membeli popok. Saat aku kembali ke rumah ibu dan ayah sudah tak ada. Aku pun berlari ke ujung jalan menyusul ibu dan ayah. Ternyata mereka sedang menunggu angkutan umum ditemani nenekku. Aku pun menyerahkan popok untuk adik kepada ibuku dan kembali pulang.

Aku pulang ke rumah dengan hati gelisah. Aku tak tahu harus berbuat apa. Masih teringat di kepalaku wajah ibu, ayah, dan nenekku yang sangat cemas. Aku pun teringat pada ibu yang saat itu sedang sakit samapi tidak mampu berdiri, namun pada saat adikku kejang ibu memaksakan untuk bisa berjalan dan membawa adik ke rumah sakit. Tak terbayang olehku bagaimana perasaan ibu pada saat menahan sakit pada seluruh tubuhnya agar ia bisa menyelamatkan nyawa anaknya. Sungguh hanya kekuatan cinta yang mampu membuat ibu dapat berjalan kembali bahkan berlari walau dipaksakan.

Selang beberapa hari, adik masih dirawat dirumah sakit. Saat menjenguknya, aku melihat adik tertidur lemas di ranjang rumah sakit dengan infuse di tangannya dan selang oksigen di hidungnya. Saat itu dokter mengira adik hanya terken kejang-kejang biasa, namu ternyata perkiraan dokter salah, karena setelah 3 hari di rawat di ruang perawatan rumah sakit itu, adik harus dipindahkan ke ruang ICU karena adik tak henti-hentinya kejang. Ternyata adik menderita sakit radang otak yang menyebabkan sebagian memori atau ingatan dalam otaknya terhapus. Yang menyebabkan semua perkembangan adik selama ini terhapus sehingga adik seperti bayi yang baru lahir. Tak ada lagi senyum manis adik, tak ada ladi sebutan teteh yang keluar dari mulut adik, tak ada lagi gerak dan langkah adik. Yang tersisa hanyalah gerak bayi dengan tatapan kosong. Bahkan kini, setelah berumur 3 tahun, adik masih juga belum bisa berjalan kembali.

Sungguh sedih rasanya mengingat semua yang adik alami. Aku menyesal karena saat adik mulai sakit aku tak menuruti permintaan ibu untuk membelikan obat. Saat adik di rumah sakit tiap malam tak henti-hentinya aku menangis, menyesali semua yang telah terjadi, yang tak lepas dari keteledoranku dalam mengurus ibu dan adik yang sedang sakit.

Kini, 1 tahun sudah berlalu sejak peristiwa pahit itu. Aku masih belum bisa melupakan kejadian satu tahun yang lalu itu. Hanya perkembangan dari adikku saja yang dapat membuatku mengikhlaskan apa yang telah terjadi. Aku akan selalu berdoa, semoga saja adikku akan kembali berjalan seperti dahulu dan dapat seperti ank-anak lain yang seusia dengannya. Amin. I love You so Firza Mufti Alfarisy, alwayz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar